Friday 29 June 2012

DALAM SENDU....


Selimut ini basah, menetes tiada henti mataku, kemana pagi hari nanti ku harus bangun menatap lagi sang matahari. Menderu angin malam ini menusuk kulitku hingga berdarah, sesekali darah ini menggumpal di jantung keras berdegup hingga muncrat di kepala hingga syarafku pun meledak dan akupun setengah mati.
“Chups...chups...chupsss.....anakkku, diamlah”
Sesenggukan anakku yang menatap dunia fana ini di awal desember 2011.
“Ayah tak mampu menegakkan kaki untuk mengangkatmu, ayah akan semakin mati jika malam ini engkau terus menangis anakku.
Hujan semakin larut  terlahap malam, rintik tetes demi tetes mengintip dan jatuh di ubun-ubun bayiku, hingga derasnya air yang jatuh membasahi daun-daun lebih deras air yang jatuh basah di bantalku.
“kreeek....kreeek...., kreeek....kreeek....”
Pintu depan itu pun terbuka, nampak sebuah rembulan di malam yang hujan dan gelap gulita. Seakan aku pun telah bangkit dari kematian yang menjatuhkanku ke dalam jurang neraka yang curam. Panasnya hati yang selama 6 jam dari jam 6 sore tersayat-sayat  jeritan sang bayi kini bagaikan badai kemarau seribu abad terguyur salju antartika. Dingin damai dan tenang aku mengharap belaian sayang seorang permaisuri yang sudah dinanti raja hatinya. Lesung pipit tersungging manis, terasa manis meskipun aku tak lagi mampu mengunyahnya, meskipun jauh namun manis itupun seakan tepat dibibirku yang menahan pahit empedu bertahun tahun.
Dengan bergegas kaupun menarik sebuah lengan yang berada di luar pintu, lengan besar dan bertulang kuat menunjukkan lelaki perkasa, nampaklah wajah penuh bulu berambut panjang. Sekejap detak jantungku meledak-ledak bagaikan gunung merapi yang meletus 26 Oktober 2005 yang lalu hingga meluluhlantahkan syaraf-syaraf tubuhku. Akupun terbunuh mendengar tertawamu dengan lelaki itu yang begitu lepas menikmati petir yang menyambar jantungku.
Kaupun masuk ke istana yang mengurungku bertahun-tahun, terbahak-bahak angin dari mulutmu semakin menderu puting beliung bau asam menyengat. Berjalan terseok-seok menenteng sebuah botol, kau jatuhkan botol itu di bawah ranjangku tersentak dadaku seperti pacahan beling-beling botol minuman yang merasukimu.
Kaupun terjatuh di samping bayimu yang menangis mengiris sadis di batinku. Dan lelaki itupun juga terjatuh menimpamu, sekejap mataku yang berkedip kau sudah menindih mertintih, tahu kah kamu saat itu dadaku terasa sakit bagaikan digilas montek penghalus jalan raya.
“Ya...Tuhan apakah ini yang dinamakn ilmu tukar rasa, jika memang iya kenapa justru yang aku rasakan adalah kesakitan berjarak sehelai rambut dengan kematian. Jarum-jarum kemarahanku semakin menusk-nusuk dari ujung kaki hingga ujung rambutku?’
Halilintar seakan menambah gairahmu, satu persatu menyambar-nyambar semakin memberikan intonasi birahimu yang membara, kaupun menjadi-jadi.
Kau lumat bibir pemuda itu dengan lahapnya, namun bibirku yang perih seperti borok tersiram abu panas, liurmu manis leiurku perih menetes  membusuk di hati nan gemetar.
Kau jilat leher kringat bercampur alkohol, hingga leherku kering dan panas, mungkin seribu sumurpun tak mampu menyiram dahaga yang semakin panas.
Sesekali jeritan sayatan nikmatmu ditiru bayimu sesenggukan hendak menjadi mayat.
“ah....ah...., o...h, o....h....ohhh....”
Kau mengerang hingga akupun geram. Andaikan mulutku mampu ingin aku menjerit hingga membahana seperti petir yang menyambar memecahkan mendung-mendung tebal.
Pemuda itu menindihmu, menjilati susumu dan mengunyam putingmu. Melibas habis dan menelan putingmu tanpa menyisakan sedikitpun untuk bayimu yang sesenggukan mengiring adzan maghrib hingga sepertiga malam.
“a....h....h, a.....hhhh, a...hhhhhhhhh”
Jeritan nikmatmu berselingan dengan jeritan tangis bayimu.
“hey....bejat.....wanita hina.... dengarkan anakmu menangis”
Langit pun mendengar dan menyahut jeritan batinku dengan petir menggelegar, dekapanmu semakin erat dan membuka paha.
Aku tak mampu mendengar suaramu...kupejamkan mata dalam ketakutan dan penyesalan. Kupungut ragamu dari sampah tempat pembuangan akhir. Ku permak dirimu hingga menjelma menjadi bidadari. La haula....niatku membawamu adalah untuk menyempurnakan ibadahku. Membungkus jasadku dalam kesucian. Meraup pahala berperang dengan kafir tanpa senjata dan darah. Mendaki bukit arofah tanpa harus ke makkah.
Kau hanyut dan runtuh dalam harta yang tak mungkin aku pangku di kaki lumpuhku. Tahukah kamu? Dirimu tak seanggun yang dahulu, belepotan kotoran sapi menganggunkanmu. Sekarang, makeup yang kau gunakan hanya seperti kotoran sapi yang kau usapkan diwajahmu. Sempat suatu saat ketika hati ini jatuh padamu ku tuliskan sebuah sumpah “sesungguhnya hatiku, cintaku, dan kasihku hanya kupersembahkan untukmu” layaknya seorang yang mengucapkan kepasrahannya kepada Allah ketika shalat.
Allah....
Aku pasrahkan jiwaku ini sepenuhnya padamu....jika matiku ini adalah sebuah dosa besar, aku ikhlas mendekam di neraka jahannam daripada harus melihat istriku dicumbui laki-laki.
Allah....
Dalam kasihmu aku bernaung.....ampunilah dosa-dosaku. Ku titipkan jiwaku ini pada bumi. Dan aku akan kembali ke pangkuanmu.
Ahhhhhhhhhh..............ahhhhhhhhhhhh......
Lelaki itu menjatuhkan diri tepat di atas pecahan botol hingga menancap tembus di perut. Jeritan bayi pun semakin membahana seakan merasakan sakit yang dirasakan sang ayah.
Bergegas wanita yang bercumbu bangun dari kubangan nikmatnya dan memandang suaminya yang berlumuran darah. Jeritan pun tak tertahan.
Maaf...maaf...maaf. tak henti-hentinya terucap dari bibir.
Mengangkat dengan penuh gemetar jasad sang suami jatuhlah sebuah kertas yang berlumuran darah. Tulisan remang-remang terbaca “sesungguhnya hatiku, cintaku, dan kasihku hanya kupersembahkan untukmu”. Lemas dan lunglai  si istri penuh penyesalan.
Hingga keesokan harinya. Di atas kuburan sang suami dia bersumpah.
“Untukmu Ahmad kekasihku....sungguh dalam hati ini adalah penyesalan yang paling dalam, tak sanggup merenggut kebaikan yang kau sajikan. Terhanyut melupakanmu dalam keniscayaan. Aku bersumpah, demi cintamu sampai mati aku tidak akan menikah lagi. Akan ku besarkan anakmu ini hingga menjadi anak yang sholeh sehingga kelak bisa menuntun kita bersama menuju syurga.”


Rembang, 3 Februari 2012

0 komentar:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More