Selimut
ini basah, menetes tiada henti mataku, kemana pagi hari nanti ku harus bangun
menatap lagi sang matahari. Menderu angin malam ini menusuk kulitku hingga
berdarah, sesekali darah ini menggumpal di jantung keras berdegup hingga muncrat
di kepala hingga syarafku pun meledak dan akupun setengah mati.
“Chups...chups...chupsss.....anakkku,
diamlah”
Sesenggukan
anakku yang menatap dunia fana ini di awal desember 2011.
“Ayah
tak mampu menegakkan kaki untuk mengangkatmu, ayah akan semakin mati jika malam
ini engkau terus menangis anakku.
Hujan
semakin larut terlahap malam, rintik
tetes demi tetes mengintip dan jatuh di ubun-ubun bayiku, hingga derasnya air
yang jatuh membasahi daun-daun lebih deras air yang jatuh basah di bantalku.
“kreeek....kreeek....,
kreeek....kreeek....”
Pintu
depan itu pun terbuka, nampak sebuah rembulan di malam yang hujan dan gelap
gulita. Seakan aku pun telah bangkit dari kematian yang menjatuhkanku ke dalam
jurang neraka yang curam. Panasnya hati yang selama 6 jam dari jam 6 sore
tersayat-sayat jeritan sang bayi kini
bagaikan badai kemarau seribu abad terguyur salju antartika. Dingin damai dan
tenang aku mengharap belaian sayang seorang permaisuri yang sudah dinanti raja hatinya.
Lesung pipit tersungging manis, terasa manis meskipun aku tak lagi mampu
mengunyahnya, meskipun jauh namun manis itupun seakan tepat dibibirku yang
menahan pahit empedu bertahun tahun.
Dengan
bergegas kaupun menarik sebuah lengan yang berada di luar pintu, lengan besar
dan bertulang kuat menunjukkan lelaki perkasa, nampaklah wajah penuh bulu
berambut panjang. Sekejap detak jantungku meledak-ledak bagaikan gunung merapi
yang meletus 26 Oktober 2005 yang lalu hingga meluluhlantahkan syaraf-syaraf
tubuhku. Akupun terbunuh mendengar tertawamu dengan lelaki itu yang begitu
lepas menikmati petir yang menyambar jantungku.
Kaupun
masuk ke istana yang mengurungku bertahun-tahun, terbahak-bahak angin dari
mulutmu semakin menderu puting beliung bau asam menyengat. Berjalan
terseok-seok menenteng sebuah botol, kau jatuhkan botol itu di bawah ranjangku
tersentak dadaku seperti pacahan beling-beling botol minuman yang merasukimu.
Kaupun
terjatuh di samping bayimu yang menangis mengiris sadis di batinku. Dan lelaki
itupun juga terjatuh menimpamu, sekejap mataku yang berkedip kau sudah menindih
mertintih, tahu kah kamu saat itu dadaku terasa sakit bagaikan digilas montek
penghalus jalan raya.
“Ya...Tuhan
apakah ini yang dinamakn ilmu tukar rasa, jika memang iya kenapa justru yang
aku rasakan adalah kesakitan berjarak sehelai rambut dengan kematian.
Jarum-jarum kemarahanku semakin menusk-nusuk dari ujung kaki hingga ujung
rambutku?’
Halilintar
seakan menambah gairahmu, satu persatu menyambar-nyambar semakin memberikan
intonasi birahimu yang membara, kaupun menjadi-jadi.
Kau
lumat bibir pemuda itu dengan lahapnya, namun bibirku yang perih seperti borok
tersiram abu panas, liurmu manis leiurku perih menetes membusuk di hati nan gemetar.
Kau
jilat leher kringat bercampur alkohol, hingga leherku kering dan panas, mungkin
seribu sumurpun tak mampu menyiram dahaga yang semakin panas.
Sesekali
jeritan sayatan nikmatmu ditiru bayimu sesenggukan hendak menjadi mayat.
“ah....ah....,
o...h, o....h....ohhh....”
Kau
mengerang hingga akupun geram. Andaikan mulutku mampu ingin aku menjerit hingga
membahana seperti petir yang menyambar memecahkan mendung-mendung tebal.
Pemuda
itu menindihmu, menjilati susumu dan mengunyam putingmu. Melibas habis dan
menelan putingmu tanpa menyisakan sedikitpun untuk bayimu yang sesenggukan mengiring
adzan maghrib hingga sepertiga malam.
“a....h....h,
a.....hhhh, a...hhhhhhhhh”
Jeritan
nikmatmu berselingan dengan jeritan tangis bayimu.
“hey....bejat.....wanita
hina.... dengarkan anakmu menangis”
Langit
pun mendengar dan menyahut jeritan batinku dengan petir menggelegar, dekapanmu
semakin erat dan membuka paha.
Aku
tak mampu mendengar suaramu...kupejamkan mata dalam ketakutan dan penyesalan.
Kupungut ragamu dari sampah tempat pembuangan akhir. Ku permak dirimu hingga
menjelma menjadi bidadari. La haula....niatku membawamu adalah untuk
menyempurnakan ibadahku. Membungkus jasadku dalam kesucian. Meraup pahala
berperang dengan kafir tanpa senjata dan darah. Mendaki bukit arofah tanpa
harus ke makkah.
Kau
hanyut dan runtuh dalam harta yang tak mungkin aku pangku di kaki lumpuhku.
Tahukah kamu? Dirimu tak seanggun yang dahulu, belepotan kotoran sapi
menganggunkanmu. Sekarang, makeup yang kau gunakan hanya seperti kotoran sapi
yang kau usapkan diwajahmu. Sempat suatu saat ketika hati ini jatuh padamu ku
tuliskan sebuah sumpah “sesungguhnya hatiku, cintaku, dan kasihku hanya
kupersembahkan untukmu” layaknya seorang yang mengucapkan kepasrahannya kepada
Allah ketika shalat.
Allah....
Aku
pasrahkan jiwaku ini sepenuhnya padamu....jika matiku ini adalah sebuah dosa
besar, aku ikhlas mendekam di neraka jahannam daripada harus melihat istriku
dicumbui laki-laki.
Allah....
Dalam
kasihmu aku bernaung.....ampunilah dosa-dosaku. Ku titipkan jiwaku ini pada
bumi. Dan aku akan kembali ke pangkuanmu.
Ahhhhhhhhhh..............ahhhhhhhhhhhh......
Lelaki
itu menjatuhkan diri tepat di atas pecahan botol hingga menancap tembus di
perut. Jeritan bayi pun semakin membahana seakan merasakan sakit yang dirasakan
sang ayah.
Bergegas
wanita yang bercumbu bangun dari kubangan nikmatnya dan memandang suaminya yang
berlumuran darah. Jeritan pun tak tertahan.
Maaf...maaf...maaf.
tak henti-hentinya terucap dari bibir.
Mengangkat
dengan penuh gemetar jasad sang suami jatuhlah sebuah kertas yang berlumuran
darah. Tulisan remang-remang terbaca “sesungguhnya hatiku, cintaku, dan kasihku
hanya kupersembahkan untukmu”. Lemas dan lunglai si istri penuh penyesalan.
Hingga
keesokan harinya. Di atas kuburan sang suami dia bersumpah.
“Untukmu
Ahmad kekasihku....sungguh dalam hati ini adalah penyesalan yang paling dalam,
tak sanggup merenggut kebaikan yang kau sajikan. Terhanyut melupakanmu dalam
keniscayaan. Aku bersumpah, demi cintamu sampai mati aku tidak akan menikah lagi.
Akan ku besarkan anakmu ini hingga menjadi anak yang sholeh sehingga kelak bisa
menuntun kita bersama menuju syurga.”
Rembang, 3 Februari 2012
0 komentar:
Post a Comment